Mengasuh dan Membimbing Anak

Posted by : Hari Suprayitno | Minggu, 17 Oktober 2010 | Published in

MENGASUH DAN MEMBIMBING ANAK SESUAI TAHAP PERKEMBANGAN

A. MENGASUH DAN MEMBIMBING ANAK
Anak perlu diasuh dan dibimbing karena mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan adalah bertumbuh  anak dari segi jasmani. Perkembangan ialah berkembangnya kepribadian anak, dari seorang mahluk yang tadinya secara mutlak bergantung pada lingkungannya, menjadi seorang yang secara relatif mandiri dan berguna bagi lingkungannya.
Perkembangan anak merupakan proses. Artinya, perkembangan itu meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, dan terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor bawaan dan faktor lingkungan. Agar perkembangan itu berjalan sebaik-baiknya, anak perlu diasuh dan dibimbing oleh orang dewasa, terutama dalam lingkungan kehidupan berkeluarga.

B. YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MENGASUH DAN MEMBIMBING ANAK
Dua faktor yang  perlu diperhatikan dalam mengasuh anak.
1. Faktor bawaan : sifat yang dibawa anak sejak lahir
Faktor bawaan dapat mempercepat, menghambat, atau melemahkan pengaruh faktor lingkungan. Setiap anak unik, artinya bahwa tidak ada satu anak pun yang persis sama. Sifat yang dibawa anak sejak lahir antara lain :
-    Pemarah,  penyabar, cerdas,  pendiam, banyak bicara, bodoh, dan lain-lain
-    Kedaan fisik yang berbeda : tinggi/pendek, hidung mancung/pesek, berkulit hitam/putih,  dan lain-lain
Dalam mengasuh dan membimbing anak, kita tidak boleh membandingkan perkembangan anak yang satu dengan yang lainnya, tanpa memperhatikan sifat mereka masing-masing.
2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan dapat merangsang berkembangnya fungsi tertentu dari anak, sehingga mempercepat perkembangan anak. Namun, faktor lingkungan juga dapat memperlambat atau mengganggu kelangsungan perkembangan anak. Peran orangtua adalah menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak ke arah yang positif. Faktor lingkungan meliputi suasana lingkungan dalam keluarga dan hal lain yang berpengaruh dalam perkembangan anak, seperti sarana dan prasarana yang tersedia, misalnya alat bermain, lapangan bermain atau televisi.

C. MENGASUH DAN MEMBIMBING ANAK

  • Hakikat mengasuh dan membimbing anak meliputi pemberian kasih sayang dan rasa aman, sekaligus disiplin dan contoh yang baik. Oleh karena itu, diperlukan suasana kehidupan keluarga yang stabil dan bahagia.
  • Mengasuh dan membimbing anak ialah mendidik anak agar kepribadian anak dapat berkembang dengan sebaik-baiknya, sehingga menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab
  • Mengasuh dan mebimbing anak melibatkan seluruh aspek kepribadian anak, baik aspek jasmani, intelektual, emosional dan keterampilan, serta aspek norma dan nilai.
  • Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam mendidik anak. Pendidikan di lingkungan keluarga merupakan dasar-dasar pertama perkembangan anak.
  • Mengasuh dan membimbing anak selain merupakan tantangan dalam keluraga, juga merupakan pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan.
  • Mengasuh dan membimbing anak membutuhkan pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kesabaran orangtua


PRINSIP DALAM MENGASUH DAN MEMBIMBING ANAK

1.  ANAK UMUR  0 – 1,5 TAHUN
aCiri dan tuntutan perkembangan

  • Memperoleh rasa aman dan rasa percaya dari lingkungan.
  • Merupakan dasar yang penting dalam hubungan anak dengan lingkungannya.
  • Rasa aman diperolehnya melalui sentuhan fisik yang menyenangkan dengan ibunya dan sesedikit mungkin mengalami hal-hal yang kurang mneyenangkan

b.  Sikap orangtua

  • Berilah ASI sesuai dengan kebutuhan bayi. Jangan terlalu ketat dengan jadwal pemberian makanan, karena setiap bayi mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda.
  • Bila ibu terpaksa memberikan susu botol, perlakukanlah seperti bayi minum ASI, yaitu dengan cara memeluknya.
  • Penuh kasih sayang dalam merawat dan mengasuh akan menimbulkan perasaan aman serta percaya pada bayi.
  • Kesiapan ibu pada setiap saat dibutuhkan oleh bayi, juga menimbulkan rasa aman dan percaya pada bayi.
  • Ketika bayi rewel, carilah penyebabnya dan atasilah masalahnya. Tangisan tidak selalu berarti bayi lapar.
  • Angkat dan peluklah bayi anda serta gendonglah berkeliling rumah/halaman sambil menunjukkan benda-benda yang ada di sekitarnya.
  • Sering-seringlah berbicara kepada bayi anda setiap hari, pada saat memakaikan pakaian, memberinya makan, memandikan, atau ketika melakukan kesibukan rumah tangga lainnya. Bayi tidak pernah terlalu muda untuk diajak berbicara.
  • Ajaklah bayi anda bermain sambil tersenyum dan tirukanlah gerakan, mimik, dan kegiatannya. Bayi anda akan menirukan kegiatan anda pula.
  • Senandungkan dan ayunkanlah bayi anda pada saat menidurkan, sehingga ia akan tertidur dengan nyaman.
  • Perkenalkan dengan berbagai macam benda, bunyi-bunyian, dan warna. Hal ini akan mempercepat perkembangan bayi anda.
  • Segala hal yang dapat mengganggu proses menyusui dalam hubungan ibu dan anak pada tahap ini akan menyebabkan terganggunya pembentukan rasa aman dan percaya. Hal ini menyebabkan goyahnya tahap perkembangan berikutnya. Anak diliputi rasa tidak aman dan tidak percaya.
c.  Gagguan/penyimpangan yang dapat timbul pada tahap ini
      -   Kesulitan makan
      -   Mudah terangsang, marah, tersinggung (Irritabilitas)
      -   Menolak segala sesuatu yang baru
      -   Sikap dan tingkah laku yang seolah-olah ingin melekat pada ibu dan menolak lingkungan

Bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik, maka pada masa dewasa kemungkinan besar akan timbul kelainan jiwa yang bercorak ketergantungan yang kuat seperti :

  • Depresi (rasa murung, sedih, dan perasaan tertekan)
  • Adiksi obat (ketergantungan obat)
  • Skizofrenia (gangguan jiwa dengan kepribadian terpecah)
  
2. ANAK UMUR 1,5 – 3 TAHUN
a.  Ciri dan tuntutan perkembangan 
  • Anak akan bergerak dan berbuat sesuatu sesuai dengan keamuannya sendiri, sehingga ia seolah-olah ingin mencoba apa yang dapat dilakukannya
  • Anak dapat menuntut atau menolak apa yang ia kehendaki atau tidak ia kehendaki
  • Akan tertanam perasaan otonomi diri, yaitu rasa kemampuan mengatur badannya dan lingkungannya sendiri. Hal ini menjadi dasar terbentuknya rasa yakin pada diri dan harga diri di kemudian hari
 b.  Sikap orangtua
  • Doronglah agar anak dapat bergerak bebas dan berlatih melakukan hal-hal yang diperkirakan mampu ia kerjakan, sehingga akan menumbuhkan rasa kemampuan diri. Namun harus bersikap tegas untuk melindungi dari bahaya, karena dorongan anak berbuat belum diimbangi oleh kemmapuan untuk melaksanakannya secara wajar dan rasional
  • Usahakan agar anak mau bermain dengan anak lainnya. Dengan demikian ia akan belajar bagaimana mengikuti aturan permainan. Namun jangan lupa bahwa dalam bermain atau berhubungan dengan orang lain, anak masih bersifat egoistis, yaitu mementingkan diri sendiri dan memperlakukan orang lain sebagai obyek atau benda sesuai dengan kemauannya sendiri
  • Banyaklah berbicara kepada anak dalam kalimat pendek yang mudah dimengerti
  • Bacakan buku cerita atau dongeng kepada anak setiap hari, dan doronglah agar ia mau menceritakan kepada anda apa yang ia lihat atau dengar
  • Ajak anak ke taman, toko, kebun binatang, lapangan, atau tempat lainnya
  • Usahakan agar anak membereskan mainannya setelah bermain, membantu kegiatan rumah tangga yang ringan dan menanggalkan pakaiannya tanpa dibantu. Hal ini akan melatih anak untuk bertanggung jawab.
  • Latihlah anak dalam hal kebersihan diri, yaitu buang air kecil dan buang air besar pada tempatmnya, namun jangan terlalu ketat
  • Latihlah anak untuk makan sendiri memakai sendok dan garpu, dan ajaklah ia makan bersama keluarga
  • Berilah alat permainan yang sederhana, dan doronglah agar anak mau bermain balok-balok atau menggambar
  • Jangan terlalu banyak memberikan larangan. Namun orangtua pun jangan terbiasa menuruti segala permintaan anak. Bujuk dan tenangkanlah anak ketika ia kecewa dengan cara memeluknya dan mengajaknya berbicara.

Gangguan dalam mencapai rasa otonomi diri akan berakibat bahwa anak dikuasai oleh rasa malu dan keragu-raguan serta pengekangan diri yang berlebihan. Sebaliknya, dapat juga terjadi sikap melawan dan memberontak.

c. Gangguan / penyimpangan yang dapat timbul pada tahap ini

  • Kesulitan makan, terutama bila ibu memaksa makan
  • Suka mengadat (ngambek/tempertantrum)
  • Tingkah laku kejam
  • Tingkah laku menentang dan keras kepala
  • Gangguan dalam berhubungan dengan orang lain yang diwarnai oleh sikap menyerang

3.  ANAK UMUR 3 – 6 TAHUN
a.  Ciri dan tuntutan perkembang
  • Anak bersifat ingin tahu, banyak bertanya berbagai macam, dan meniru kegiatan di sekitarnya.
  • Anak mulai melibatkan diri dalam kegiatan bersama dan menunjukkan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu, tapi ia tidak mementingkan hasilnya. Pengalaman dalam melakukan aktivitas ini amat penting artinya bagi anak.
  • Seringkali kita lihat bahwa anak cenderung berpindah-pindah dan meninggalkan tugas yang diberikan kepoadanya untuk melakukan yang lain. Hal ini dapat menimbulkan krisis baru karena hal itu bertentangan dengan lingkungan yang semakin menuntut, sehingga anak mengalami kekecewaan
  • Jika dalam tahap sebelumnya hanya tokoh ibu yang bermakna bagi anak, dalam tahap ini tokoh ayah mempunyai peran penting baginya. Disini terbentuk segitiga hubungan kasih sayang ayah-ibu-anak. Anak laki-laki merasa lebih sayang kepada ibunya, dan anak perempuan lebih sayang kepada ayahnya
  • Melalui peristiwa ini, anak dapat mengalami perasaan sayang, benci, irihati, persaingan, memiliki dan lain-lain. Begitu pula perasaan takut dan cemas.
  • Kedua orangtua harus bekerjasama untuk membantu anak melalui tahap ini. Peranan orangtua sebagai tokoh ayah dan tokoh ibu sangat penting
  •  Ayah dan ibu merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu jangan mau dimanipulasi oleh anak. Ayah dan ibu memberikan kasih sayang yang sama, baik terhadap anak perempuan ataupun anak laki-laki
  • Dengan terselesaikannya hubungan segitiga tersebut, maka anak wanita akan beridentifikasi dengan ibunya dan anak laki-laki dengan ayahnya (identitas seksual maupun identitas diri)
  • Bila ibu terlalu dominan (menonjol pengaruhnya) dalam rumah tangga, sedangkan ayah kurang tegas atau ayah tidak ada (absen) baik secara lahiriah maupun kejiwaan, maka akan terjadi identifikasi (proses meniru) yang salah. Anak laki-laki akan beridentifikasi dengan ibunya, sehingga ia lebih mengembangkan sikap kewanitaan dan sebaliknya
  • Anak mulai melihat adanya perbedaan jenis kelamin. Kadang-kadang, ia terpaku pada alat kelaminnya. Sering kita melihat anak laki-laki memegang alat kelaminnya sampai ereksi. Jangan dimarahi karena hal ini tetapi alihkanlah perhatiannya. Bila diatasi dengan baik, fase ini akan berakhir dengan baik pada usia 6 tahun.

 b. Sikap orangtua
  • Berilah kesempatan kepada anak untuk menyalurkan inisiatifnya, sehingga ia mendapat kesempatan untuk membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut
  • Ikut sertakan anak dalam aktivitas keluarga, misalnya menyapu, berbelanja ke pasar, memasak, atau membetulkan mainan yang rusak
  • Jangan menakut-nakuti anak. Pada anak laki-laki akan berakibat cemas, karena pada tahap ini ia sangat takut akan kehilangan alat kelaminnya (kastrasi), sedangkan pada anak perempuan timbul rasa iri hati.
  • Dengar dan hargailah pendapat serta usul yang dikemukakan oleh anak
  • Jangan menuntut yang melebihi kemampuan anak
  • Ibu perlu lebih dekat kepada anak perempuannya. Sedangkan ayah perlu lebih akrab dengan anak laki-lakinya
  • Jawablah pertanyaan anak dengan benar, jangan membohongi atau menunda jawaban, misalnya bila anak bertanya bagaimana caranya adik keluar dari perut mama, jawablah bahwa keluarnya melalui jalan lahir, jangan katakan dibelah dari perut. Hal ini akan menakutkan bagi anak yang dapat berdampak negatif pada jiwanya
  • Sering-seringlah membacakan buku cerita atau dongeng. Kemudian diskusikanlah isi ceritanya dan tanyakanlah beberapa pertanyaan kepada anak
  • Berilah ia kesempatan untuk mengunjungi tetangga, teman, dan saudara tanpa ditemani.
  • Luangkan waktu setiap hari untuk berdialog dengan anak. Dengarkanlah ia dan tunjukkanlah bahwa anda mengerti pembicaraannya dengan mengulangi apa yang dikatakannya. Pada saat ini janganlah menggurui, mencaci dan menyepelekannya.
  • Ajarkanlah untuk membedakan yang salah dan yang benar, serta tata tertib dan sopan santun yang berlaku di masyarakat setempat
  • Peranan ayah menjadi penting disini. Oleh karena itu ajaklah anak bermain bersama. Disini, ayah perlu bersikap sebagai teman bagi anak

Gangguan dalam mencapai rasa inisiatif akan menyebabkan anak merasa bersalah, rasa takut berbuat sesuatu, takut mengemukakan sesuatu, serta serba salah dalam bergaul

c. Gangguan/ Penyimpangan yang dapat timbul pada tahap ini
     -   Kesulitan belajar
     -   Masalah sekolah
     -   Masalah pergaulan dengan teman
     -   Anak yang pasif dan takut serta kurang kemauan, kurang inisiatif


Semoga bermanfaat bagi kita semua.

SUMBER BACAAN

Markum A.H., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 1, Bagian IKA FKUI, Jakarta. 1991
Martono, L. Herlina, Mengasuh dan Membimbing Anak Dalam Keluarga, Edisi I, PT Pustaka Antara, Jakarta, 1996
Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, Cetakan I.EGC ;Jakarta, 1995
Whaley & Wong, Nursing Care of Infant’s and Children, Fifth Edition, Mosby Company, Missouri, 1995

Asuhan Keperawatan Pasien Gastritis

Posted by : Hari Suprayitno | Selasa, 05 Oktober 2010 | Published in

 
LAPORAN PENDAHULUAN
Gastritis

I. DEFINISI
Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung.( Kapita Selekta Kedokteran I )
Gastritis terbagi 2 yaitu :
a. Gastritis Akut
Merupakan kelainan klinis akut yang jelas penyebabnya dengan tanda dan gejala yang khas. Biasanya ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil.
( Kapita Selekta Kedokteran I )
b. Gastritis Kronik
Penyebabnya tidak jelas, sering bersifat multifactor dengan perjalanan klinis yang bervariasi. Kelainan ini erat dengan Infeksi Helico Bakter Pylori.
(Kapita Selekta Kedokteran I )

II. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini antara lain :
- Obat – obatan : Aspirin, obat anti inflamasi non steroid (AINS)
- Alkohol
- Gejala mikrosirkulasi mukosa lambung : Trauma, luka baker, sepsis
Secara mikrosposis terdapat lesi erosi mukosa dengan lokasi berbeda. Jika ditemukan pada korpus dan fundus, biasanya disebabkan oleh stress. Jika disebabkan karena obat-obatan, AINS, terutama ditemukan di daerah antrum, namun dapat juga menyeluruh. Sedangkan secara mikroskopik, terhadap erosi dengan regenerasi epitek dan ditemukan reaksi sel inflamasi neutrofil yang minimal.

III. MANIFESTASI KLINIS
Sindrom dispepsian berupa nyeri epigastrium, mual, kembung, muntah, merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hemotemesis dan melena, kemudian disusun dengan tanda-tanda anemia pubca perdarahan. Biasanya jika dilakukan anamnesis lebih dalam terhadap riwayat penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu.
Pada Gastritis Kronis kebanyakan pasien tidak mempunyai keluhan hanya sebagian kecil mengeluh nyeri uluh, hati, anorexia, nousea, dan pada permukaan fisik tidak dijumpai kelainan.

IV. PATOFISIOLOGI
Terdapat gangguan keseimbangan faktor agresif dan faktor desensif yang berperan dalam menimbulkan lesi pada mukosa lambung


  
V. KOMPLIKASI
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa Hematemesis dan melena, dapat berakhir sebagai syok hemorragin. Khusus untuk perdarahan SCBA, perlu dibedakan dengan tukak peptik. Gambaran klnis yang diperlihatkan hampir sama. Namun pada tukak peptik penyebab utamanya adalah infeksi H. Pyloin, sebesar 100% pada tukak duodenam dan 60 – 90%, pada tukak lambung. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan endoskopin perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkas, pertorasi, dan anemia karena gangguan absapsi vitamin B12

VI. PENATALAKSANAAN
Faktor utama adalah menghilangkan Etiologinya. Diet lambung dengan porsi kecil dan sering, obat-obatan ditinjau untuk mengatur sekresi asam lambung, berupa antagonis reseptor H2, inhibitor pompa proton, anti kelinergik dan antasid. Juga ditujukan sebagai sitoprotektor berupa sukroltati dan prostaglandim. Pada pusat-pusat yankes, dimana endiskopi tidak dapat dilakukan penatalaksanaan diberikan seperti pada pasien dengan sindrom dispepsia, apalagi jika tes serologi negatip pertama-tama yang dilakukan adalah mengatasi dan menghindari penyebab gratitis akut. Kemudian diberikan pengobatan epiris berupa antosit, antagonis H2, / inhibitor pompa proton dan obat-obat prokinetik. Jika endoskopi dapat dilakukan tropi eradikasi juga diberikan pada seleksi khusus pasien yang menderita penyakit- penyakit seperti ukus duodeni, dispepsia tipe ukus dan lain-lain.

ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Anamnesa
a. Identitas
-       Nama
-       Umur
-       Jenis kelamin
-       Suku/bangsa
-       Pekerjaan
-       Pendidikan
-       Alamat
-       Tanggal MASUK RUMAH SAKIT
-       Diagnosa medis

b. Keluhan utama
    Klien mengatakan nyeri di daerah epigastrium disertai mual dan muntah
c. Riwayat Penyakit Sekarang
    Klien nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah, perdarahan saluran cerna berupa 
    hematemesis dan melena disertai anemia pasca perdarahan
d. Riwayat Penyakit Dahulu
    Apakah klien pernah MASUK RUMAH SAKIT atau menderita penyakit yang sama 
    sebelumnya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
    Apakah pada anggota keluarga yang lain ada yang menderita penyakit yang sama dengan
    klien.
f. Pola-pola fungsi Kesehatan
Pola Persepsi dan Tatalaksana Kesehatan
   Bagaimana hubungan persepsi dan tatalaksana biasanya pada klien pada pasien dengan
   gastritis tatalaksana kesehatan biasanya sebagian dibantu baik oleh keluarga dan perawat.
˜Pola Nutrisi dan Metabolisme
   Apakah klien mengalami gangguan nutrisi dan metabolisme baik sebelum maupun setelah
   MASUK RUMAH SAKIT. Pada pesien dengan gastrilis terjadi  gejala pemenuhan kebutuhan
   nutrisi karena adanya mual dan muntah.
˜ Pola Eliminasi
   Apakah ada gejala pada eliminasi alfin maupun urin pada klien sebelum dan setelah 
   MASUK RUMAH SAKIT. Pada pasien dengan gastritis biasanya terjadi obstipasi.
˜ Pola Istirahat dan Tidur
   Terjadi gangguan / tidak pada pola istirahat dan tidur pasa klien sebelum dan setelah
   MASUK RUMAH SAKIT. Pada klien dengan gastrilis biasanya terjadi 8 kali pada pola 
   istirahat dan tidur karena adanya rasa nyeri pada epigastrium.
˜ Pola Aktivitas dan Latihan
   Apakah terjadi gejala pada pola aktivitas dan latihan. Klien akibat penyakit yang dideritanya.
   Pada pasien dengan gastritis pada umumnya mengalami keterbatasan dalam aktivitas.
˜ Pola Sensori dan Kognitif
   Apakah terhadap gejala pada panca indra klien dan kognitif klien sebelum dan setelah 
   Masuk Rumah Sakit.
˜ Pola persepsi dan Konsep Diri
   Apakah terjadi gejala pada konsep diri klien sebelum dan setelah Masuk Rumah Sakit dan 
   bagaimana dengan persepsi klien tentang penyakit saat ini.
˜ Pola reproduksi sexsual
   Apakah ada kelainan pada organ reproduksi sexsual klien baik bentuk maupun fungsinya 
   baik sebelum Masuk Rumah Sakit dan setelah Masuk Rumah Sakit.
˜ Pola Hubungan dan Peran
   Apakah terjadi penurunan interaksi /hubungan dengan orang lain akibat dari gejala sensorik, 
   motorik maupun kognitifnya
˜ Pola Penanggulan Stres
   Adakah rasa cemas akibat penyakit klien saat ini dan babaimana cara penanggulangannya
   klien terhadap rasa cemasnya.
˜ Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
   Bagaimana tentang kepercayaan yang dianut klien, tentang ibadahnya apakah terjadi gejala
   pada saat Masuk Rumah Sakit.

g. Pemeriksaan Fisik
˜  Status Kesehatan Umum:
      Pada klien gastritis keadaan penyakit bisa ringan, sedang sampai berat.
˜ Kepala
     Pada klien grastitis tidak terjadi kelainan pada kepala.
˜ Muka
     Pada klien gastritis pada umumnya terdapat Tics karena nyeri pada epigastrium.
˜ Mata
     Pada klien dengan Gatritis tidak terdapat icterus maupun hiperemi pada mata.
˜ Abdomen
    Adanya Hepatogemali atau tidak pada gastritis terdapat mual, muntah dan nyeri pada
    epigastrium disertai rasa kembung.


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.    Gangguan rasa nyaman (nyeri epigastrium) berhubungan dengan adanya lesi pada mukosa lambung.
2.    Gangguan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit berhubungan dengan out put yang berlebihan (muntah)
3.    Gejala psikologis (cemas) berhubungan dengan ketidaktahuan tentang penyakit

C. PERENCANAAN
Diagnosa 1     
Tujuan :
-       Nyeri dapat berkurang /hilang
Kriteria Hasil :
-       Nadi normal (TTV dalam batas normal)
-       Klien tidak lagi menyeringai sakit
-       Klien tidak lagi memegangi daerah yang nyeri
-       Skala nyeri 0
Rencana Tindakan :
1.    Kaji status nyeri klien (lokasi dan skala)
     R/ mengetahui derajat nyeri Klien
2.    Beri penjelasan pada klien tentang sebab-sebab nyeri
     R/ agar klien tahu dan mengerti tentang penyakitnya
3.    Obs. TTV Klien
     R/ monitoring keadaan klien
4.    Ajarkan teknik relaxasi nafas dalam pada klien
     R/ untuk membantu mengurangi nyeri
5.    Berikan kompres air hangat
     R/ untuk vasodilatasi dan mengurangi spasme otot
6.    Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anolgesik dan anti inflamasi
     R/ obat analgesik untuk mengatasi nyeri dan anti inflamasi untuk   mengatasi lesi.


Diagnosa 2     
Tujuan :
-       Kebut cairan dan elektrolit terpenuhi
Kriteria Hasil :
-       TTV dalam batas normal.
-       Mukosa bibir lembab
-       Mata tidak cowong
-       Turgor baik
-       Produksi urin 1 cc/kg BB/jam
Rencana Tindakan :
1.    Jelaskan pada klien tentang akibat dari kurang cairan dan elektrolit.
      R/ Klien mengerti dan Kooperative dengan perawat
2.    Lakukan obs.TVV Klien.
     R/ deteksi terus menerus keadaan pasien.
3.    Lakukan obs. tanda-tanda dehidrasi
     R/ mengetahui derajat dehidrasi klien
4.    Lakukan obs. intake dan out put
     R/ menghindari defisit dan overload
5.    Lakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan perinfus
     R/ membantu menambah intake cairan

Diagnosa 3     
Tujuan :
-       Cemas berkurang / hilang
Kriteria Hasil :
-       Klien tampak tenang dan tidak lagi gelisah
-       Ungkapan klien tentang berkurangnya kecemasan
-       Kooperative dengan petugas
Rencana Tindakan :
1.    Kaji tentang penyebab kecemasan klien
     R/ mengetahui faktor penyebab agar mendapat intruksi yang sesuai
2.    Jelaskan setiap prosedur yang akan dilakukan
     R/ agar klien tahu dan mengerti sehingga dapat mengurangi kekhawatiran terhadap tindakan yang diberikan
3.   Beri penjelasan dan informasi yang adekuat terhadap klien tentang penyakitnya
     R/ agar klien tahu dan mengerti tentang penyakitnya
4.   Beri kesempatan klien untuk bertanya dan mengungkapkan perasaannya
     R/ membantu mengurangi kecemasan klien
5.   Atur waktu agar klien dapat berkonsultasi dengan dokter bila diinginkan
     R/ memperoleh penjelasan yang lebih dalam tentang keadaan pasien.

VI. PELAKSANAAN
Adalah mengelola dan mewujudkan dari rencana perawatan meliputi :
Tindakan yang direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran dokter dan ketentuan Rumah Sakit.

VII. EVALUASI
Evaluasi juga merupakan tahap akhir dari suatu proses perawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien dan sesama tenaga kesehatan.

SUMBER BACAAN
1.    Lynda Juall  Carpenito 1998, Diagnosa Keperawatan, Edisi 6, Jakarta : EGC.
2.    Nasrul Efendi,1995, Pengantar Proses Keperawatan, Jakarta : EGC.
3.    Arif Mansjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.

Konsep Komunikasi Terapeutik

Posted by : Hari Suprayitno | Senin, 04 Oktober 2010 | Published in

KONSEP KOMUNIKASI TERAPEUTIK.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien. Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada klien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima bantuan 

Menurut Stuart dan Sundeen  tujuan hubungan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :
1. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri.
2. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
3. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling tergantung dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
4. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal yang realistik.

            Tujuan komunikasi terapeutik adalah :
1.     Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya pada hal yang diperlukan.
2.    Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3.     Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.

Tujuan terapeutik akan tercapai bila perawat memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Kesadaran diri.
2. Klarifikasi nilai.
3. Eksplorasi perasaan.
4. Kemampuan untuk menjadi model peran.
5. Motivasi altruistik.
6. Rasa tanggung jawab dan etik.

Komponen Komunikasi Terapeutik
Model struktural dari komunikasi mengidentifikasi lima komponen fungsional berikut :
1. Pengirim : yang menjadi asal dari pesan.
2. Pesan : suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada penerima.
3. Penerima : yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi oleh pesan.
4. Umpan balik : respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan.
5. Konteks : tatanan di mana komunikasi terjadi.

Jika perawat mengevaluasi proses komunikasi dengan menggunakan lima elemen struktur ini maka masalah-masalah yang spesifik atau kesalahan yang potensial dapat diidentifikasi.

Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.
Dalam melakukan komunikasi terdapat 4 fase yang harus diperhatikan oleh seorang perawat yang antara lain (Stuart dan Sundeen, 1998.): yaitu fase pra interaksi, fase perkenalan atau orientasi, fase kerja, dan terminasi. Setiap fase ditandai dengan serangkaian tugas yang perlu diselesaikan.
1.    Fase pra interaksi.
Pra interaksi mulai sebelum kontak pertama dengan klien. Perawat mengeksplorasikan perasaan, fantasi dan ketakutannya. Sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat dipertanggungjawabkan. Tugas tambahan pada fase ini adalah mendapatkan informasi tentang klien dan menentukan kontak pertama.
2.    Fase perkenalan atau orientasi.
Fase ini dimulai dengan pertemuan dengan klien. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan perawat klien. Dalam memulai hubungan, tugas utama adalah membina rasa percaya, penerimaan dan pengertian, komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan klien. Elemen-elemen kontrak perlu diuraikan dengan jelas pada klien sehingga kerja sama perawat-klien dapat optimal.
Tugas perawat dalam hal ini adalah mengeksplorasi pikirana, perasaan, perbuatan klien, dan mengidentifikasi masalah, serta merumuskan tujuan bersama klien. 
3.    Fase kerja.
Pada fase kerja, perawat dan klien mengeksplorasikan stresor yang tepat dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, pikiran, perasaan dan perbuatan klien, perawat membantu klien mengatasi kecemasan, meningkatkan kemandirian, dan tanggung jawab diri sendiri dan mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif. Perubahan perilaku maladaptif menjadi adaptif merupakan fokus fase ini.
4.    Fase terminasi.
Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan intim yang terapeutik sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Keduanya, perawat dan klien akan merasakan kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau klien pulang.

Apapun alasannya fase terminasi perawat akan menghadapi realitas perpisahan yang tidak dapat diingkari. Klien dan perawat bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Perasaan marah, sedih, penolakan perlu dieksplorasikan dan diekspresikan.

Sikap Komunikasi Terapeutik.
Egan (dikutip oleh Keliat, 1996) mengidentifikasi lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik, yaitu :
1.Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.
2.Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3.Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu.
4.Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
5.Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon kepada klien.

Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui perilaku non verbal. mengatakan ada lima kategori komunikasi non verbal, yaitu :
1.Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non verbal misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan bicara.
2.Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap tubuh.
3.Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
4.Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini didasarkan pada norma-norma social budaya yang dimiliki.
5.Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal yang paling personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan latar belakang budaya, jenis hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.

Teknik Komunikasi Terapeutik.
Ada dua persyaratan dasar untuk komunikasi yang efektif  yaitu :
1. Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi maupun penerima pesan.
2. Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan lebih dahulu sebelum memberikan saran, informasi maupun masukan.

Hambatan Komunikasi Terapeutik.
Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-klien terdiri dari tiga jenis utama : resistens, transferens, dan kontertransferens. Ini timbul dari berbagai alasan dan mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, tetapi semuanya menghambat komunikasi terapeutik. Perawat harus segera mengatasinya. Oleh karena itu hambatan ini menimbulkan perasaan tegang baik bagi perawat maupun bagi klien. Untuk lebih jelasnya marilah kita bahas satu-persatu mengenai hambatan komunikasi terapeutik itu.
1.     Resisten.
Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran verbalisasi yang dipelajari atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah aspek diri seseorang. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resistens biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah.
2.    Transferens.
Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di masa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi bermusuhan dan tergantung.
3.    Kontertransferens.
Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien. Konterrtransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten klien.

Sumber Bacaan :
Arwani (2003) : Komunikasi dalam Keperawatan
Budi Anna Keliat (1996) : Hubungan Terapeutik Perawat Klien
Purwanto (1994) : Komunikasi untuk Perawat
Stuart dan Sundeen (1998) : Keperawatan Jiwa Edisi 3